
Pengalaman di dua kota, Martapura, Kalimantan Selatan dan Semarang, Jawa Tengah, bersama JK. Reportase seorang blogger mara bersamanya. Soto Bangkong, sebuah simbol kegigihan berwirausaha, turut disinggahi JK.
WAKTU di jam saya dua puluh menit lagi menjelang pukul 16.00, Rabu, 25 Maret 2009. Perempatan di Jl. A. Yani, Jl. MT Haryono dan Jl. Brigjen Katamso, Semarang, Jawan Tenngah, terasa kian hidup, ketika Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden, hari itu sebagai Ketua Umum Partai Golkar usai berkampanye, membelokkan rombongan yang sedang menuju airport, singgah dulu ke warung Soto Bangkong.
Bangkong bukanlah kodok, sebagaimana lema dalam bahasa Sunda. Bangkong sebuah daerah di kawasan perempatan itu.
JK duluan masuk bersama Ny. Mufidah. Di ruang sebelah kanan, deretan enam meja tampak sudah dikosongkan. Di meja pertama di sebelah kanan, JK duduk, di hadapannya, Muladi, pengurus teras Golkar mendampingi. Di atas meja ada rombongan kerupuk di dalam tatakan plastik merah. Sebuah mangkok berisi tusukan lidi macam sate telur puyuh, mangkok lain ada daging kerang. Ada juga bilah daging ayam. Bilah-pilah lidi berisi lauk mengundang selera. Mangkok-mangkok soto panas datang mengepulkan asap, mengalirkan aroma berbumbu bawang putih goreng, berpotongan kecil hijau daun kucai.
Seorang pria tua membawa baki alumunium, menghidangkan soto di meja JK.
Pria berkaos putih, berkopiah, yang tinggi badannya tidak lebih tinggi dari JK itu, duduk santun diminta JK mendampinginya. Pria itu H. Soleh Soekarno, sejak 1950, telah menjual Soto Bangkong dengan pikulan di sebelah ruang JK menyantap soto petang itu.
“Apa rahasia enaknya soto Bapak?”
JK bertanya kepada Soleh yang duduk di kanannya.
”Resepnya sama saja dengan soto lain, tak ada yang rahasia. Tetapi intinya, kalau kita sudah senang mengerjakan sesuatu, kita harus membagi kesenangan itu dengan orang lain. Mulai dari masak soto sampai melayani pembeli, saya lakukan dengan senang, dengan krenteg, supaya rasa senang itu ikut dirasakan orang yang memakannya,” ujar Soleh.
Saya dengar dialog JK dalam jarak tiga meter.
Sebuah kiat menarik disampaikan Soleh; ihwal menyenangkan orang.
Sebuah meja di belakang JK, diisi oleh rombongan Sekjen Golkar, Sumarsono. Saya bergabung di meja itu. Tak lama kemudian, Soleh berdiri, lalu ke belakang dan datang ke meja kami, membawa baki berisi empat mangkok soto.
Masih melayani sendiri?
“Iya Mas. Saya masih ikut kontrol masakan,” ujar Soleh.
Usia Soleh sudah 94 tahun.
Di balik rambutnya yang memutih menyembul di sela kopiah hitam, mengingatkan saya kepada Colonel Sanders, sosok yang fotonya dipajang di restoran waralaba Kentucky Fried Chicken (KFC), asal AS itu. Soto Bangkong kini telah pula memiliki gerai lebih di 20 tempat di berbagai kota, tak kalah dengan KFC.
Soleh Soekarno layak menjadi simbol akan wirausahawan asli Indonesia; fokus jualannya, ulet, gigih, sejak lama sudah terbiasa bangun di pukul 02.30 dinihari, meracik bumbu, memasak, memikul dan mendagangkan. Seluruh jurus ilmu berusaha di tangannya.
SEKITAR tiga jam sebelumnya, di saat berada di Bandara Achmad Yani, Semarang, di ruang tunggu saya sempat menyampaikan kepada Ridwan Mustofa, Sekjen Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), yang kebetulan ikut menyimak perjalanan kampanye JK hari itu.
Saya sampaikan kembali soal kegundahan saya ihwal kriteria pengusaha kepada Ridwan. Di beberapa Sketsa pernah saya tulis soal ini. Kriteria pengusaha, adalah sosok yang memproduksi dan menghasilkan produk dan atau jasa. Sedangkan skala usaha, dapat dilihat dari besaran produk dan atau jasa itu masuk ke pasaran.
Pekan lalu di saat JK mengundang beberapa blogger bertemu dengannya di Restoran Pisa, Jl. Mahakam, Jakarta Selatan , saya sempat bertanya kepadanya; di tengah jumlah pengusaha tak sampai 1,7% dari jumlah penduduk, mengapa kini banyak pengusaha, beralih seakan memproduk-jasakan politik?
“Berpolitik butuh biaya.”
“Lagian PNS, ABRI, tidak boleh berpolitik, jadi banyaklah pengusaha yang mengambil peran itu,” jawab JK.
Jika saja para politikus yang ada, sudah mapan usahanya macam H Soleh Soekarno, pemilik warung Soto Bangkong itu, akan lain ceritanya. Apalagi ia pun sudah melakukan arah pengembangan, dan pembagian hak bagi anak cucunya, agar usaha tetap dapat berlanjut.
Setiap anak Soleh mendapat hak mendirikan cabang restoran Soto Bangkong sesuai jumlah cucu. Misalnya anak dengan 4 cucu berhak mendirikan lima cabang, yakni masing-masing satu untuk anak dan satu untuk masing-masing cucu.
”Jumlah cabang Soto Bangkong tak boleh melebihi jumlah hak tersebut,” ujar Soleh.
Melalui sistem itu, diharapkan sepeninggal Soleh kelak, tak terjadi rebutan di antara anak-anaknya tentang siapa yang berhak meneruskan usaha soto tersebut.
Jika saja sosok-sosok macam Soleh kemudian berada di ranah politik NKRI ini, bisa jadi akan lain corak ranah kehidupan kita. Apakah dengan mengajak singgah makan di Soto Bangkong, JK ingin menyampaikan perihal ini?
Bisa jadi.
Dari buku yang ditulis oleh Hamid Awaludin, mantan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia itu, saya mendapatkan gambaran, bahwa biaya awal negosiasi perundingan damai Aceh di Helsinki, memakai dana pribadi JK. Hamid menyebut angka mencapai total mendekati Rp 5 miliar memakai uang pribadi JK.
Bahkan Hamid menulis, “Saya tak tahu apakah negara kemudian sudah mengganti uang JK.”
Nah, dalam kerangka kepengusahaan, sebelum berpolitik, keberadaan JK memang sudah macam, H. Soleh, memiliki dagangan sebagai distributor produk PT Astra International bagi daerah Indonesia Timur, antara lain. Usaha keluarga yang dirintis ayahandanya H. Kalla dengan NV Kalla itu, itu kemudian merambah banyak bidang, termasuk manufaktur.
MENJELANG berkampanye di alun-laun Simpang Lima, Semarang itu, rombongan JK singgah di Hotel Santika. Di hotel itu sudah menunggu deretan becak. JK bersama Ny,. Mufidah, naik becak sekitar 200-an meter.
Sebagaimana di Martapura, Kalimantan Selatan di pagi harinya, JK tidak panjang bicara. Di hadapan ribuan massa di udara yang panas, ia lebih banyak berdialog, dan meminta lima orang naik ke panggung.
Bagaikan anchor di televisi JK bertanya, banyak hal. Kepada seoarang pria paruh baya, ia menanyakan mengapa memilih partainya, apa alasannya. Kepada seorang ibu-ibu, ia bertanya bagaimana soal harga sembako.
Seorang anak muda bersandal jepit, berkaus biru diminta JK naik ke panggung. Sosok anak muda itu mengaku pemilih pemula. Anak muda itu menunjukkan simpatinya kepada JK dan partainya, kendati banyak dihujat, tetapi terus bekerja.
“Saya yakin Bapak bisa memberikan pendidikan murah ke depan.”
Harapan anak muda itu, mewakili suara segenap warga.
Di Martapura, Kalimantan Selatan menjelang pukul 11.00 di hari yang sama adegan berkampanye yang sama dilakukan JK. Setelah sempat mampir ke kediaman tokoh agama di Martapura, JK lalu ke Stadiun Barakat. Dari atas panggung, JK, meminta beberapa peserta kampanye ke panggung. Seorang pemuda bertanya tentang keadaan pembangunan jalan yang kini banyak rusak.
Tidak ada kalimat berteriak dari JK. Apalagi udara di Martapura terasa lebih panas dibanding di Semarang.
“Terik matahari ini merupakan berkah, karena daerah ini berada di garis khatulistiwa”
“Karena matahari ini, menumbuhkan tanaman, kayu, beragam, membuat kaya alam yang mengandung kekayaan mineral.”
JK pun menympaikan rencana pemerintah, untuk menyerap tenaga kerja yang lebih besar.
“Ke depan batubara tidak lagi banyak diekspor, kita akan gunakan membangun industri baja terbesar,” ujarnya JK.
Jika saja langkah-langkah membuat asset sumber daya alam dengan membuat industri turunannya sudah berjalan sejak dulu, dipastikan penyerapan tenaga kerja besar dapat dilakukan. Dan nilai tambah akan membuat volume pemasukan Negara signifikan naik.
Belum ada kata terlambat memang.
Apalagi untuk membangun menjalankan visi, misi seorang pemimpin di negeri ini, bisa jadi ibarat mengeret kambing mandi ke kali; multi partai membuat kebijakan sulit mulus berjalan. Anggota DPR yang acap belum teruji sebagai tokoh tertentu dalam masyarakat, memilki berbagai kepentingan, seakan memberatkan kepentingan negara.
Dalam kerangka pikir demikianlah tampaknya JK memmbulatkan tekad, mengajak masyarakat mendukungnya. Dalam lema saya, jika banyak sosok macam H. Soleh, pemilik Soto Bangkong yang mau berpolitik, maka akan jayalah Indonesia.***
Iwan Piliang, literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com
Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/03/26/jusuf-kalla-semangkok-soto-dalam-kampanye/